Home Berita Alumni Magnis Suseno : Buku Herry Priyono Bukan Pengantar

Magnis Suseno : Buku Herry Priyono Bukan Pengantar

992
0
Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Jakarta, Romo Magnis Suseno SJ saat membacakan pendapatnya tentang buku Filsafat Politik yang ditulis Romo Herry Priyono SJ dalam acara Peluncuran 5 Buku Herry Priyono yang diselenggarakan oleh Penerbit Kompas, Selasa (21/12/2021).

G

uru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Magnis Suseno SJ menyatakan salah satu buku karya Romo Bernardinus Herry Priyono SJ yang berjudul “Kebebasan, Keadilan, dan Kekuasaan Filsafat Politik and What It Is All About” bukanlah sebuah pengantar yang bisa menjadi bantuan bagi awam atau mahasiswa untuk masuk ke dalam Filsafat Politik.

“Buku itu merupakan Filsafat Politik sendiri, dan bukan pengantar.”ujar Romo Magnis dalam paparannya yang disampaikan secara daring pada peluncuran 5 buku almarhum Romo Herry Priyono SJ, Selasa (21/12/2021).

Magnis menyebutkan, bila mengikuti uraiannya, pembaca dibawa pada pemahaman masalah-masalah yang ada. Bagaimana masalah inti filsafat politik dipikirkan dan didalami para pemikir atau filosof. “Sangat mengasyikkan,”ujar Magnis.

Menurut Magnis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Herry bukan hanya persoalan-persoalan yang kerap diajukan para filosof melainkan juga orang biasa. “Mengapa manusia harus ditata dan diatur, apa itu kekuasan, apa itu kebebasan, apa kaitan antara kekuasaan dan keadilan, apa itu keadilan, siapa yang berhak berkuasa. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang ditangani dalam buku ini,”ujar Magnis.

Meski kita biasanya sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab dan jawaban-jawaban yang diberikan bersifat kontroversi, menurut Magnis, umumnya kita mengharapkan satu jawaban bermutu.

Herry Priyono, kata Magnis, tidak termasuk mereka yang begitu saja menyajikan segala macam jawaban yang cenderung bersifat relativisme filosofis.

Tidak Dihilangkan
Filsafat, kata Magnis, pada dasarnya merupakan kumpulan pendapat seperti yang disajikan dalam buku sejarah filsafat. Sebenarnya, kumpulan pendapat ini, kata Magnis justru tidak menangkap apa yang selalu mengerakkan para fisosof bahwa mereka saling menangapi dan saling mengkritik.

“Ini bicara tentang dialektika. Setiap pendapat merangsang penyangkalannya. Penyangkalan merangsang penyangkalan lagi. yang khas bagi dialektika seperti dianalisa Hegel adalah bahwa suatu penyangkalan bukan menyingkirkan atau menghapus pendapat yang disangkal melainkan menunjuk pada kepincangan atau kemiringannya dan justru mengangkat kebenaran yang termuat di dalamnya,”ujar Magnis.

Dalam filsafat, pendapat yang dikritik bahkan yang ditolak lantas tidak dihapus dan bisa dilupakan melainkan justru diselamatkan. Ini berbeda dengan ilmu alam. “Kalau sudah pasti bahwa the earth is flat, anggapan bahwa the earth is ball atau sebaliknya bisa dilupakan,”ujar Magnis.

Filsafat, kata Magnis, mencari kebenaran tapi kebenaran itu dialektik. Kebenaran dicapai dalam kemajuan pengertian kritis, kata Magnis.

“Karena itu pemikiran Marx yang hampir semua unsurnya dikritik habis hingga kini selalu diangkat lagi. Begitu pula para filosof masih terus kembali pada pemikiran Plato yang hidup 2.500 tahun lalu,”ujar Magnis.

Dialektik
Guru Besar yang sudah emeritus ini juga menyebutkan bahwa Herry Priyono tidak membahas Hegel juga Marx. Meski demikian, pemikirannya dialektik dan bermutu. Herry, kata Magnis mengangkat pertanyaan misalnya tentang kekuasaan, yang pertama kali dirumuskan, lalu mengikuti bagaimana pertanyaan itu terus ditangani, menimbulkan debat, kritik, dukungan, bantahan dan demikian justru tercapai kemajuan dalam pengertian.

Magnis menegaskan, kebenaran filsofis tidak pernah seperti kebenaran ilmu empiris. Seperti misalnya kebenaran ilmu alam, dimana yang baru menyingkirkan yang lalu. Demikian juga ilmu medis dan sejarah. Yang secara filosofis benar, menurut Magnis memang benar tapi selalu merupakan hasil diskursus yang kristis, kadang selama ratusan kalau bukan ribuan tahun. “Namun kebenaran selalu akan ditantang baru dibawa lebih jauh dan dengan demikian kita dapat menjadi lebih cerah,”ujar Magnis.

Itulah cara Herry melangkah, kata Magnis. Pembaca bisa heran bagaimana suatu pertanyaan relatif sederhana berkembang. Herry, kata Magnis tidak lantas memberi definisi masalah dan selesai, melainkan kita akan mengalami seluk beluk pemikiran seperti sebuah penyelidikan di gua besar. Gua yang semula berkesan seperti gang lurus ke dalam, tetapi lalu ada cabang ke kiri dan kanan, dan di cabang itu ada cabang lagi, dan seterusnya. Herry, menurut Magnis menyelusuri cabang-cabang itu.

Penelusuran gagasan dan inspirasi filsafat tidak membuat kita akhirnya kehilangan arah dengan semakin masuk gua, kata Magnis. “Kita juga tidak mengalami dengan lega keluar ke alam terbuka yang suasananya berbeda dengan suasana di dalam gua,”ujar Magnis.

Pencerahan
Cabang-cabang pemikiran yang tak jarang membingungkan senantiasa membawa sesuatu yang barangkali dapat disebut rangsangan pemikiran filosofis atau pencerahan.

Pemikiran filosofis dengan segala lekak-lekuknya, kata Magnis memang senantiasa mencerahkan. Bahkan kalau kemudian dibantah lagi. Herry, menurut Magnis dari kalimat pertama hingga akhir senantiasa memberi pencerahan. “Masalah-masalah yang dimasukinya belum selesai juga tapi kita menjadi cerah. Tidak kebetulan bahwa waktu Herry mengajar, muncul semboyan ex philosophia claritas.”jelas Magnis.

Buku Herry belum selesai waktu Tuhan memanggilnya. Meski begitu, kata Magnis, buku ini utuh, fokus, terarah, dan menjadi satu kesatuan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here