Home Kajian Praktik Kuliner sebagai Ajang Kontestasi Kelas Sosial

Praktik Kuliner sebagai Ajang Kontestasi Kelas Sosial

975
0

P


raktik konsumsi media kontemporer mengalami pergeseran tren dari audiens yang tadinya dominan menonton tayangan di televisi jadi mengakses multi-kanal Media Baru, seperti YouTube. Pergeseran praktik konsumsi media ini ternyata sejalan dengan praktik konsumsi konten media, di antaranya konten kuliner sebagai bagian dari urban life-style yang menaikkan rating. Pada masa 1990-an dikenal program Selera Nusantara bersama chef Rudy Choirudin (RCTI). Pada 2005-2012, ditayangkan program Bango Cita Rasa Nusantara (RCTI) yang kemudian beralih rupa menjadi Wisata Kuliner (TransTV) yang dipopulerkan Bondan Winarno. Pada 2010-2015, Chef Farah Quinn memopulerkan Ala Chef (Trans TV).

Konten kuliner dalam tayangan media arusutama (TV) ini lebih menekankan pada kehandalan memasak Rudy, Bondan dan Farah dan citarasa masakan yang dihasilkan mereka. Dalam arti tertentu, performa mereka cenderung mewakili citarasa klas menengah dan menengah ke atas dalam balutan setting “dapur” yang relatif lebih teratur, bersih, lengkap perkakas dan bumbunya, juga rapi pengorganisasiannya. Setelah 2015-an, bermunculan program wisata kuliner yang lebih beragam dari segi kanal tayangan, ‘pemain,’ performa, maupun isi kuliner yang disajikan. Salah satu program wisata kuliner yang sempat heboh dan viral di YouTube pada akhir 2019 lalu adalah Chef Barbar Sok Kabeh.

Berikut ditampilkan sejumlah rekaman layar agar pembaca mendapatkan sedikit gambaran.



Dalam esei ini, saya akan menyoroti bagaimana konten media yang tampak “biasa dan sehari-hari,” seperti wisata kuliner, ternyata menggambarkan masalah sosio-budaya yang lebih luas. Saya menggunakan pisau analisis teori sosial tentang cita-rasa (taste) yang digagas Bourdieu (1984) dan Warde (2014) untuk memahami hubungan antara teori media dan praktik konsumsi.

Distinction sebagai Katalisator dari Teori Stratifikasi Sosial Citarasa


Buku Distinction karya Pierre Bourdieu merupakan sebuah adikarya Sosiologi yang sangat kaya untuk dibaca dari berbagai perspektif. Pembaca yang jeli dapat melihat dari perspektif estetika (h. 11-96), ekonomi politik (h. 99-168), politik budaya (h. 397-465), teori perubahan sosial (h. 226-256), teori nilai (h. 260-317), maupun filsafat sosial budaya. Selain itu, Distinction menjadi alternatif dari praktik-praktik standar Sosiologi Arusutama yang dominan diproduksi para sosiolog Amerika Serikat pada masa setelah Perang Dunia (Coulangeon & Duval, 2015: 9).

Berikut rangkuman tiga kajian untuk Distinction yang dilengkapi hasil pembacaan mandiri. Ganzeboom (1987) menunjukkan kontribusi khas Bourdieu yang melanjutkan pandangan Weber bahwa gayahidup adalah instrumen kunci untuk mempertahankan batasan-batasan status sosial. Bagi Bourdieu, gayahidup adalah sebuah ritual sekaligus peran sosial yang dimainkan anggota kelompok sebagai sarana manajemen kesan. Bourdieu menunjukkan bahwa Citarasalah yang menggariswabahi pilihan-pilihan tersebut. Distingsi-distingsi yang dibuat seseorang menjadi penanda penting dari status sosialnya, demikian tegas Bourdieu.

Vestheim (2010) berargumen bahwa Distinction tetap relevan dibaca dan dipahami kita sekarang. Lewat Distinction, pembaca jadi mengetahui mengapa sejumlah besar negara di Eropa membuat kebijakan budaya yang diklaim terbuka untuk melindungi semua warisan budaya warga negaranya tapi ternyata hanya melindungi privilese budaya dari klas tertentu, yaitu borjuis. Vestheim melihat bahwa preferensi budaya, gaya hidup (styles de vie) dan citarasa (goûts) bukan melulu urusan individu dan persoalan psikologis, tapi tergantung pada klas sosial. Orang yang lahir dan hidup di klas sosial yang berbeda akan mengembangkan habitus yang berbeda pula.

Habitus merupakan gabungan dari struktur psikologis, emosional, kognitif, konseptual, normatif, dan bahasa yang menempatkan disposisi untuk lebih memilih sejumlah tipe citarasa dan gayahidup tertentu sekaligus membatasi untuk tidak memilih yang lain. Habitus individu yang berasal dari strata masyarakat klas bawah (klas pekerja, misalnya) berbeda dengan individu dari klas borjuis dengan tata-nilainya yang dominan. Habitus dialami individu klas bawah sebagai hambatan dalam arti menikmati praktik budaya dengan santai dan ‘alamiah’.

Sementara, Murdock (2010) membaca Distinction dengan bertolak dari pengalaman Bourdieu terkait wajah ganda sistem pendidikan. Pada satu sisi, sistem pendidikan menawarkan kesempatan bagi para siswa yang berlatar klas pekerja untuk mengalami mobilitas vertikal ke klas Borjuis atau Borjuis Kecil. Tapi, pada sisi yang lain, sistem pendidikan itu pilih-kasih; ia lebih memerhatikan para siswa yang berasal dari keluarga klas menengah dan klas atas.

Masih dalam pembacaan Murdock atas Distinction, Citarasa yang baik bukanlah properti alamiah seseorang melainkan pengaruh budaya yang tertanam dalam sistem persepsi, penilaian dan tindakan yang dipengaruhi kondisi-kondisi sosial seseorang. Habitus bukan kebiasaan ajeg; ia masih mungkin berubah tergantung pada jumlah dan tipe-tipe kapital yang diperoleh individu senyampang mereka bergerak di/dalam ruang-ruang sosial yang berbeda.

Membaca ‘Citarasa’ lewat Sosiologi Konsumsi Kontemporer

Bertolak dari The Critique of Judgment (Immanuel Kant, 1790), disiplin ilmu Sosiologi mengarahkan objek analisis dan kritiknya pada dimensi sosial Estetika, terutama dimulai lewat karya Soziologische Aesthetik (Simmel, 1896). Setelah Simmel, kritikus sosial Terry Eagleton dan sosiolog Pierre Bourdieu mengritik Estetika Kant karena dianggap menampilkan Citarasa klas yang berkuasa (Aristokrat) sebagai satu-satunya Citarasa yang valid secara universal dan lejitim. Pada akhir 1990-an, menguat gagasan tentang ‘Estetisasi hidup sehari-hari sebagai bagian dari dinamika sosial dalam kehidupan masyarakat modern’ (Gronow, 1997), yang kemudian berlanjut pada refleksi sosiologis atas praktik konsumsi sehari-hari, atau biasa disebut “Sosiologi Konsumsi” (Warde, 2008, 2014, 2015, 2016, 2017). Secara konsisten, Warde mengelaborasi sub-topik Sosiologi Konsumsi berikut ini: konsumsi budaya dan perpotongannya dengan isu ketidaksamaan dan stratifikasi sosial, konsumsi berkelanjutan dan pengorganisasian hidup sehari-hari dalam masyarakat Barat, dan politik konsumsi.

Teks After Taste (Warde, 2014) membaca fenomena “Citarasa” secara sosiologis. Warde pertama-tama menunjukkan bahwa model analisis ‘tikungan budaya’ (cultural turn) tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena konsumsi kontemporer. Model ‘tikungan budaya’ cenderung memandang “konsumen sebagai agen yang aktif dan refleksif, yang mengambil keputusan secara sadar dan intensional untuk mengonsumsi dan kesadaran ini sekaligus menjelaskan arah tindakan tersebut” (Warde, 2014: 283). Maka, Warde menawarkan alternatifnya, yaitu ‘gugus teori praktik,’ yang memberikan tekanan pada aspek berikut: rutinitas atas tindakan, aliran dan sekuens di atas tindakan diskrit, disposisi atas keputusan, dan kesadaran praktis atas deliberasi; melakukan di atas berpikir, yang material di atas yang simbolis, dan kompetensi praktis yang menubuh di atas keutamaan ekspresif dalam penampilan/penyajian diri (Warde, 2014: 286).

Karenanya, topik praktis seperti “makan dan wisata kuliner” termasuk area riset Sosiologi Konsumsi yang menarik perhatian banyak peneliti karena “Makan itu bercirikan material, korporeal dan mendunia, dilakukan dengan berulang, rutin dan sesuai konvensi/aturan yang disepakati penggunanya…pengalaman praktis mengonsumsi merupakan prasyarat mengeluarkan/menyatakan penilaian, dan bentuk-bentuk makanan yang baru biasanya mengundang gairah untuk membincangnya” (Warde, 2014: 288).

Bertolak dari analisis Warde di atas, contoh fenomena Chef Barbar Sok Kabeh mengundang ‘gairah untuk diperbincangkan’ bukan pertama-tama karena jenis makanan yang disajikannya (seafood biasa) melainkan performa juru masaknya yang ‘sensasional dan tidak lumrah.’ Kompetensi praktis memasak yang diperlihatkan sosok Chef Antok yang bernama asli Yuli Juwanto melampaui kompetensi teknis keilmuan formilnya sebagai lulusan S1 Ekonomi dan S2 Pendidikan Teknik (Yunita, 2019). Habitus menjadi jurumasak yang baru dirintisnya sejak 2014, tanpa bekal pengalaman apapun, selain “Saya belajar sendiri, lihat-lihat orang masak, belajar dari YouTube. Tidak pernah ikut orang sama sekali, tidak pernah kerja di restoran sama sekali,” merupakan manifesto dari dualitas tantangan dan kesempatan individu untuk memaksimalkan ragam kapitalnya dalam ruang-waktu sosial yang serba kompetitif.

Bukan hanya mengalami mobilitas vertikal dalam arti status sosial, Chef Barbar Sok Kabeh juga mengalami mobilitas horizontal dalam arti viral di media sosial. Viralitas merupakan hasil modalitas sekaligus dampak performativitas. Chef Antok mendulang kekaguman netizen karena kegigihannya menekuni dunia masak-memasak sampai berhasil dan menjadi populer, padahal ia berasal dari luar klas aristokrat yang selama ini biasanya menjadi rujukan untuk ‘makanan berkelas’ (fine dining) dan citarasa klas atas. Otodidak (memasak) bukanlah sebuah pelarian dari nasib malang dan suasana murung keterlemparan dari determinasi klas namun hobi, habitus, dan penentuan diri yang terartikulasi dan tersinkronisasi dengan gairah bermedia kontemporer yang menyukai hal-hal yang berbau sensasional alih-alih terkendali.

Karenanya, menarik untuk mendalami dua pertanyaan berikut dalam beberapa riset ilmu sosial lintas disiplin terkait isu ini: Pertama, bagaimana menjelaskan praktik mengonsumsi kuliner secara ekstrem yang ditayangkan lewat kanal YouTube sebagai ajang kontestasi klas sosial (bagian dari Distinction), dan Kedua, bagaimana praktik konsumsi kuliner secara ektrem (baik penyajian maupun cara makannya) tersebut dapat diperiksa dengan menggunakan pisau analisis Sosiologi Konsumsi After Taste (Warde)?


REFERENSI

Rujukan Utama
Bourdieu, P. ([1979]1984). Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Terjemahan Richard Nice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Warde, A. (2014). After taste: Culture, consumption and theories of practice. Journal of Consumer Culture, 14(3), 279–303. DOI: 10.1177/1469540514547828

Rujukan pelengkap :
Coulangeon, P. dan Duval, J. Tim Penyunting. (2015). The Routledge Companion to Bourdieu’s Distinction. London dan New York: Routledge.

Ganzeboom, H. B. G. (1987). Book Review. Pierre Bourdieu: Distinction. A Social Critique of the Judgement of Taste.

London: Routledge & Kegan Paul, 1984. 613 pp. European Sociological Review, 3(3), 264-266. http://www.jstor.org/stable/522425

Gronow, J. (1997). The Sociology of Taste. London dan New York: Routledge.

Murdock, G. (2010). REVIEW ESSAY. Pierre Bourdieu, Distinction: a social critique of the judgement of taste.

International Journal of Cultural Policy, 16(1), 63–65. DOI: 10.1080/10286630902952413

Vestheim, G. (2010). REVIEW ESSAY: Pierre Bourdieu, La distinction: critique sociale du jugement. International Journal of Cultural Policy, 16(1), 89–91. DOI: 10.1080/10286630902989050

Warde, A. (2017). Consumption: A Sociological Analysis. London: Palgrave Macmillan.

Warde, A. (2016). The Practice of Eating. Cambridge, UK dan Malden, MA: Polity Press.

Warde, A. (2015). The Sociology of Consumption: Its Recent Development. The Annual Review of Sociology, 41, 117-134. https://doi.org/10.1146/annurev-soc-071913-043208

Warde, A. (2008). Dimensions of A Social Theory of Taste. Journal of Cultural Economy, 1(3), 321-336. DOI: 10.1080/17530350802477069

Yunita, K. (2019). Chef Barbar ‘Sok Kabeh’, Lulusan S2 Pendidikan Teknik yang Pilih Jualan Seafood. Diambil dari https://www.urbanasia.com/chef-barbar-sok-kabeh-lulusan-s2-pendidikan-teknik-yang-pilih-jualan-seafood-U5529

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here