Home Kajian Krismon

Krismon

869
0

D

i tahun 1997, semua proyek yang saya tangani distop, ditunda, dan minta dibatalkan. Padahal sedang setengah jalan. Ada apa gerangan? Rupanya dolar naik dua kali lipat, dari semula Rp 2000an loncat ke 4000an, dan tidak lama kemudian menjadi 10.000, dan pernah 20.000. Dengan nilai dolar yang melonjak, perusahaan saya berhutang Rp 4 T, dan tentu saja tidak ada uang untuk membayarnya.

Divisi proyek, procurement, planning dan riset yang semuanya berada dalam satu lantai yang sama, kemudian menganggur. Kami yang semula biasanya sudah ada di kantor jam 7.00 pagi, kemudian menjadi pemalas – datang jam 10an. Di kantor cuma ngobrol sebentar dan sekitar jam 11an kami keluyuran mencari makan siang, dengan dilanjutkan jalan-jalan keliling kota.

Pernah kami ramai-ramai berkunjung ke Glodok untuk sekedar melihat-lihat barang elektronik dan membeli VCD bajakan. Kembali ke kantor sekitar jam 3 sore. Dan akhirnya kami masing-masing pulang ke rumah sebelum jam 4. Tak lama kemudian terjadi kerusuhan 1998 dan Suharto jatuh.

Karena tidak jelas lagi kami mau ngapain akhirnya saya dan beberapa teman iseng-iseng mendaftar untuk bekerja di luar negeri. Amerika yang menjadi pilihan. Karena di sanalah dolar berada. Melalui surat-menyurat (e-mail) dan koneksi dengan vendor akhirnya saya diterima bekerja di AT&T namun belum sempat berangkat, sementara teman saya yang lain sudah berangkat duluan ke Amerika, bekerja di Ericsson.

Demikian pula ipar saya yang pilot, memboyong keluarganya ke New York. Nampaknya Indonesia mau bangkrut ketika itu. Para pemilik saham perusahaan saya sudah bertengkar satu sama lain. Untungnya mereka belum sampai pada keputusan mem-PHK-kan karyawan. Tetapi pekerjaan saya sudah digeser dari semula di bidang teknikal menjadi bidang marketing dan manajerial. Katanya pekerjaan menjual jauh lebih penting saat ini ketimbang membangun, perusahaan butuh cash.

pekerjaan saya sudah digeser dari semula di bidang teknikal menjadi bidang marketing dan manajerial. Katanya pekerjaan menjual jauh lebih penting saat ini ketimbang membangun, perusahaan butuh cash

Tahun 1999, performansi perusahaan malah membaik karena produk kartu pre-paid laku keras. Orang yang ingin hemat bertelpon ria merasa dapat mengontrol pemakaiannya dengan prepaid. Produksi voucher pulsa meningkat, uang banyak masuk. Timbul pertanyaan dari para eksekutif, apakah investasi perlu dilakukan lagi karena alat-alat produksi mulai bekerja kembali.

Serombongan konsultan dari Scandinavia berkunjung ke perusahaan kami, memberikan presentasi bagaimana cara menghadapi krisis (sambil menawarkan barang peralatan tentunya). Nasehatnya yang boleh dipercaya adalah, “kalau di depan ada kabut, sebaiknya tetap berjalan, jangan berhenti, tetapi jalannya pelan-pelan saja.”

Tahun 2000 perusahaan kami sudah menyandang gelar perusahaan terbaik dari segi pertumbuhan pendapatan. Para pemegang saham yang semula berkelahi dan pernah menyatakan bahwa seluler adalah proyek gagal, sekarang ingin meningkatkan investasinya, dan malahan membangun satu lagi perusahaan seluler baru sebagai saingan. Saya sendiri kemudian jadi sibuk di kantor dan melupakan rencana kepergian ke Amerika.

Pelajaran yang saya ambil dari Krismon adalah jangan berputus asa, karena dibalik krisis selalu ada opportunity. Hal itu terulang lagi dalam krisis pandemi saat ini. Saya melihat sekarang orang mulai giat lagi berusaha, dan Menteri Sri Mulyani mengumumkan ekonomi Indonesia tahun ini telah tumbuh positif +3,51% dari semula minus -2.07% di tahun 2020. Luar biasa. Ayo bergegas, tahun depan hidup kita akan lebih baik. Mari semangat !

Pelajaran yang saya ambil dari Krismon adalah jangan berputus asa, karena dibalik krisis selalu ada opportunity

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here